Jumat, 30 Oktober 2015

Asal Usul Tari Seluang Mudik

Dahulu kala di tepian Sungai Musi, di sekitar Desa Rantau Bayur dan Tebing Abang, tinggallah seorang bujangan yang hidup sendirian. Bujangan ini biasa dipanggil penduduk dengan sebutan Datuk Arenan. Karena usianya sudah sangat lanjut dan seumur hidupnya belum pernah menikah, orang-orang menggelarinya dengan sebutan bujang tua.
Pekerjaan sehari-hari Datuk Arenan adalah mencari ikan di sungai. Ia mencari ikan dengan menggunakan ambat (rawai). Ambat adalah alat untuk mencari ikan yang dibuat dari rotan yang panjangnya sekitar 50 – 100 meter yang biasa digunakan oleh masyarakat sekitar. Di setiap 1 meter diletakkan kail yang diberi umpan. Pada bagian pangkal ambat diikatkan di pohon besar di pinggir sungai. Sementara di bagian ujung  ambat diberi batu. Untuk mencari ikan ambat dibawa ke sungai dan ujung ambat diletakkan di tengah sungai. Ambat dipasang pagi atau sore hari dan diangkat pagi hari.
Seperti biasanya setiap pagi Datuk Arenan memeriksa ambatnya. Namun, tampaknya hari itu nasib baik tidak berpihak kepadanya.Di ambatnya tidak ada seekor ikanpun yang tersangkut, padahal saat itu sedang musim ikan mudik atau musim ikan kebangaran (mabuk). Pada musim itu biasanya air sungai warnanya berubah menjadi kehitam-hitaman dan berbau tidak sedap. Di antara ikan-ikan mabuk itu yang paling banyak adalah ikan seluang. Ikan seluang mabuk itu sangat mudah didapatkan. Memang saat itu sedang musim kemarau. Rupanya ikan seluang yang berlimpah itu tidak menarik minat Datuk Arenan dan malah ia memasang ikan seluang sebagai umpan di setiap kail yang ada di ambatnya.
Walaupun ia sempat kecewa tidak mendapatkan satu ekor ikan pun, Datuk Arenan tidak patah semangat. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Datuk Arenan melihat ambatnya. Rupanya, pagi ini Datuk Arenan kembali dibuat kecewa sebab tidak ada satu ikan pun yang melekat di ambatnya. Terpaksalah Datuk Arenan memasang lagi ambatnya dan menganti umpannya dengan yang baru. Setelah selesai, pulanglah ia ke rumah. Keesokan paginya ia periksa lagi ambatnya dan tetap tidak ada satu ikan pun yang ia dapatkan. Peristiwa ini berlangsung terus sampai satu minggu. Akan tetapi Datuk Arenan tidak pernah lelah. Tiap pagi ia terus berusaha dan tidak letih berharap sambil mengganti umpan dan memasang ambatnya.
Setelah satu minggu tidak mendapatkan hasil apa pun, tidak seperti malam-malam biasanya, pada malam itu itu Datuk Arenan tertidur sangat pulas. Dalam tidurnya ia bermimpi didatangi orang tua yang sangat bijak dan bersahaja. Orang tua itu mengenakan pakaian putih bersih, wajahnya berjenggot putih panjang, dan memegang tongkat layaknya seorang wali.
“Hai Datuk Arenan, jadilah Engkau orang yang sabar dan tabah. Besok pagi sekali pergilah Engkau melihat ambatmu dan akan Kau dapatkan keajaiban di sana,” ujar sang kakek.
“Keajaiban apakah yang akan aku temukan?” tanya Datuk Arenan.
“Aku tidak akan menjelaskannya. Sebaiknya Kau lihat sendiri keajaiban itu besok pagi,” jawab kakek.
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, sang kakek langsung menghilang dan Datuk Arenan pun terbangun dari tidurnya. Ia sangat heran dengan mimpinya karena seumur hidupnya belum pernah ia bermimpi seperti itu. Ia terus memikirkan mimpinya itu dan tidak bisa tertidur lagi. Ia pun tidak sabar menunggu pagi hari.
Untuk membuktikan mimpinya, pagi-pagi sekali Datuk Arernan pergi ke sungai untuk menarik ambatnya. Suasana masih sangat sepi, belum ada satu orang pun yang ia temui di perjalanan. Saat menarik ambatnya, ia melihat pada kail kedua dan ketiga tersangkut alat tenun yang lengkap dan sangat bagus. Diambilnyalah alat tenun itu. Ia pasang lagi ambatnya.
“Bagus sekali alat tenun ini, punya siapakah gerangan? Apakah ini merupakan pesan dari mimpiku tadi malam?” tanya Datuk Arenan dalam hati.
Setelah itu Datuk Arenan pun pulang membawa alat tenun tadi. Karena hari masih sangat pagi, tak ada seorang pun yang melihat ia membawa alat tenun tersebut. Setiba di rumah dibersihkannya alat tenun itu sehingga alat tenun itu terlihat semakin bagus, tidak rusak dan bisa dipakai untuk menenun.
Malam harinya, kembali ia bermimpi didatangi kakek yang muncul dalam mimpinya malam kemarin.
“Datuk Arenan cucuku, hari ini sudah kau dapatkan keajaiaban itu. Akan tetapi besok pagi kau harus pergi lebih pagi lagi dan akan kau dapatkan keajaiban yang tak terbayangkan,” ujar kakek tersebut.
“Keajaiban apa lagikah yang akan aku terima, Kek?” tanya Datuk Arenan.
Sang kakek tidak menjawab, tetapi langsung menghilang. Datuk Arenan terbangun dari tidurnya dan terus memikirkan arti mimpinya itu.
“Apa ya, kira-kira yang akan terjadi besok pagi?” tanya Datuk Arenan di dalam hati.
Karena sibuk memikirkan mimpinya, ia tidak bisa tidur lagi. Seperti hari kemarin, ia pun tidak sabar menunggu pagi hari dan ingin mengetahui apa yang ia akan dapatkan besok.
Menjelang subuh, ia pergi.untuk memeriksa ambatnya. Karena hari masih gelap, ia tidak bertemu dengan seorang pun selama perjalanan ke sungai. Setelah sampai di tepi sungai, ia langsung menarik ambatnya. Benar! Kali ini ambatnya terasa berat sekali, tetapi ia tidak melihat satu ekor ikan pun yang melekat di kailnya. Dengan tidak berputus asa, ia terus menarik ambatnya. Pada bagian ujung ambat, ia melihat sesuatu yang berkilauan melekat di ambatnya. Semakin mendekati ujung ambat, barulah terlihat olehnya  seperti kain yang berkibar-kibar berkilauan. Setelah mencapai ujung ambat, terlihat jelas yang melekat di ujung ambat adalah seorang wanita. Ia sangat terkejut. Diangkatnya wanita itu dan dibawanya ke pinggir sungai. Bajunya yang putih berkilauan basah kuyup oleh air dan wanita itu sangat kedinginan. Segeralah dibawanya wanita tersebut pulang ke rumahnya.
Setiba di rumah, Datuk Arenan langsung membuka lemari pakaiannnya. Dicarinya pakaian yang cocok untuk wanita asing tersebut. Kemudian ia teringat bahwa ia pernah menyimpan baju almarhum ibunya. Baju itu sudah lama sekali ia simpan. Dicarinya baju tersebut dan dan ia berhasil menemukannya. Ternyata baju itu masih bagus.
“Ini handuk, baju, dan kain yang bisa kau pakai. Segeralah ganti pakaianmu yang basah itu. Nanti kamu masuk angin,” ujar Datuk Arenan.
Wanita itu menurut saja. Ia menuju kamar dan mengganti pakaiannya.
Sementara itu, Datuk Arenan sangat bingung memikirkan apa yang harus dilakukannya. Mula-mula terbesik di benaknya untuk merahasiakan saja apa yang ia temukan pagi ini. Sesaat kemudian pikirannya berubah. Cukup lama ia memikirkan hal tersebut. Akhirnya, ia memutuskan untuk menceritakan apa yang dialaminya kepada krio di kampungnya.
“Ada apa Datuk, panas terik begini Datuk menemui saya. Pasti ada hal yang sangat penting yang ingin Datuk sampaikan kepada saya,” ujar krio.
“Ada hal penting yang ingin saya katakan.”
“Katakanlah, Datuk. Jangan sungkan-sungkan. Saya siap mendengarnya. Kalau memang ada masalah, mudah-mudahan saya bisa bantu.”
“Begini, Krio. Tadi pagi seperti biasa saya memeriksa ambat  yang saya pasang. Namun, saya mendapatkan suatu keajaiban Di ujung ambat saya tersangkut seorang wanita yang tidak saya kenal. Sekarang wanita itu ada di rumah saya. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dan apakah yang saya lakukan ini sudah benar?”
“Benarkah Datuk apa yang Kau bicarakan?”
“Benar, Krio.”
“Jadi, sekarang ini wanita itu ada di rumahmu?”
“Betul, Krio.”
Cukup lama krio berpikir. Ia pun melanjutkan perkataannnya.
“Datuk adalah seorang laki-laki yang tinggal sendirian di rumah. Akan menjadi aib yang sangat besar kalau Datuk membiarkan wanita itu tinggal di rumah Datuk seperti sekarang ini. Menurut saya, karena Datuk belum punya istri, bagaimana kalau Datuk kawini saja wanita itu. Karena datuk yang menemukan wanita itu, Datuklah yang lebih berhak menjadi istrinya.”
Mendengar ucapan krio, Datuk Arenan sangat gembira. Tidak pernah terbayang dalam hidupnya bahwa ia akan menikah dengan seorang wanita yang sangat cantik dan selama ini kecantikannya belum pernah ditemui pada wanita-wanita di kampungnya.
Tidak lama setelah pembicaraan Datuk Arenan dengan Krio, diumumkanlah berita pernikahan Datuk Arenan. Setelah itu, diadakanlah pesta besar-besaran di kampung itu. Semua masyarakat bergembira. Pada acara perkawinan tersebut, Datuk Arenan dan istrinya mengenakan pakaian adat perkawinan. Istri Datuk Arena yang memang cantik, semakin cantik dangan dandanan pengantin tersebut. Semua warga pun mengakui dan memuji kecantikan istri Datuk Arenan sehingga Datuk Arenan merasa sangat bangga.
Setelah pesta pernikahan usai, istri Datuk Arenan berpesan kepada suaminya.
“Kak, aku ikhlas dan rela menjadi istri Kakak karena kebaikan Kakak yang telah menyelamatkanku. Namun, ada satu permintaanku agar rumah tangga kita tetap langgeng.”
“Permintaan apakah gerangan itu, Dik.”
“Permintaanku tidaklah berat. Aku hanya meminta pakaianku yang pertama kali kukenakan saat Kakak menemukanku hendaknya disimpan dengan baik dan jangan pernah memintaku untuk mengenakannya kembali.”
“Kalau hanya itu permintaanmu,  tentulah aku sanggupi.”
Mereka berdua kemudian hidup berbahagia. Datuk Arenan tetap meneruskan kebiasaannya menangkap ikan. Istrinya di rumah saja. Pekerjaan sehari-hari istrinya, di samping malayani suaminya, ia menenun benang menjadi kain menggunakan alat tenun yang ditemukan Datuk Arenan sebelum menemukan dirinya.
***
Selang beberapa bulan kemudian, desa tersebut kedatangan tamu jauh. Tamu yang datang adalah rombongan dari Kesultanan Palembang yang pergi berburu. Karena kemalaman, rombongan pun menginap di desa itu.
Seperti biasa, setiap ada tamu yang datang, masyarakat mengadakan jamuan untuk menghormati tamu. Selain dihidangkan makanan, tamu juga disuguhi dan dihibur dengan nyanyian dan tari-tarian.
Malam itu, semua tamu merasa senang dan mereka sangat menikmati suguhan yang disajikan. Banyak warga yang turut hadir dalam jamuan itu, termasuk Datuk Arenan dan istrinya.
Setelah semua tarian dan nyanyian ditampilkan, para tamu yang terpesona dengan kecantikan istri Datuk Arenan meminta kepada krio agar mengizinkan istri Datuk Arenan menari. Disampaikanlah keinginan para tamu kepada Datuk Arenan. Datuk Arenan merasa sangat gembira. Ia merasa tersanjung dan mendapat kehormatan yang luar biasa.
“Baiklah kalau begitu, kami berdua pamit pulang sebentar untuk berganti pakaian,” kata Datuk Arenan kepada krio yang menyampaikan permintaan para tamu.
“Sebenarnya, pakaian yang dipakai istrimu sudah cukup bagus, tetapi kalau istri Datuk ingin berganti pakaian kami persilakan. Kami semua menunggu di sini,” jawab krio.
Setelah berpamitan, pulanglah Datuk Arenan beserta istrinya. Kerena jarak dari tempat perjamuan menuju ke rumah Datuk Arenan tidak terlalu jauh, sebentar saja mereka sudah sampai di rumah.
“Dik, rasanya tidak ada pakaian yang paling pantas kau kenakan pada kesempatan baik ini selain pakaian yang engkau kenakan waktu pertama kali kita bertemu. Kenakanlah pakaian itu Kau akan kelihatan semakin cantik dan mempesona.”
“Kak, bukankah Kakak sudah berjanji padaku untuk tidak menyuruhku memakai pakaian ini? Jadi, tolong jangan suruh aku memakainya. Lebih baik aku kenakan pakaian yang lain saja. Bagaimana kalau yang ini?” kata istrinya sambil menunjukkan baju yang cukup bagus yang baru selesai ia buat.
“Tapi, Dik, Kakak ingin engkau mengenakan pakaian ini. Kakak ingin sekali semua mata terpesona melihat kecantikanmu dalam balutan pakaian ini dan tentu ini akan membuat Kakak akan sangat bangga .”
“Kak, sekali lagi tolong, jangan…jangan Kakak paksa aku memakai pakaian ini. Aku takut Kak, kalau aku memakai pakaian ini akan terjadi keanehan yang aku yakin Kakak dan aku tidak menghendakinya. Percayalah padaku, Kak!”
“Percayalah Dik, Kakak yakin tidak akan terjadi apa-apa pada diri Adik. Sekarang cepat kenakan, mereka semua sudah menunggu kedatangan kita.”
“Jangan Kak, lebih baik aku memakai pakaian yang lain saja.”
“Ayolah Dik, cepatlah kenakan pakaian ini!”
“Baiklah kalau Kakak memaksa, saya akan turuti. Akan tetapi Kakak jangan pernah menyesal dan jangan menyalahkan saya jika terjadi sesuatu setelah saya mengenakan pakaian ini.”
Setelah mengenakan pakaian tersebut, mereka berdua pergi ke tempat perjamuan. Kemudian, menarilah istri Datuk Arenan pada acara jamuan itu. Keindahan tariannya membuat semua yang hadir terpesona. Gerakan tariannya yang lemah gemulai sangat menarik dan memikat hati. Semua bertepuk tangan dan memuji penampilan isri Datuk Arenan.
Istri Datuk Arenan terus menari dengan sungguh-sungguh.. Namun, semakin lama istri Datuk Arenan menari, timbulah keanehan. Perlahan-lahan kaki istri Datuk Arenan terangkat naik. Semakin lama tubuhnya melayang semakin tinggi dan terus naik hingga hilang dari pandangan mata.
Semua yang hadir terpaku, lalu menjadi panik. Mereka bingung seakan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Terlebih-lebih Datuk Arenan. Ia berlari-lari sambil menjerit-jerit memanggil istrinya.
“Dik, turun Dik, jangan tinggalkan Kakak sendirian. Kakak janji tidak akan menyuruhmu memakai pakaian itu lagi. Turunlah Dik!”
Berkali-kali Datuk Arenan menjerit memanggil istrinya. Setelah lelah menjerit dan berlari-lari, ia pun tersungkur di tanah.
“Oh Dik, mengapa kau tinggalkan kakak sendirian. Belum lama kita bertemu, mengapa Kau tega meninggalkan Kakak dengan cara seperti ini,” ucap Datuk Arenan sambil tak henti-hentinya menangis dan menyesali tindakannya.
Warga yang mendengar ratapan Datuk Arenan pun turut hanyut dalam kesedihan. Tidak sedikit pula yang meneteskan air mata. Salah sorang warga membimbing Datuk Arenan pulang ke rumahnya.
Malam itu datuk Arenan terus memanggil-manggil istrinya sambil matanya menatap ke langit.
Setelah kejadian itu Datuk Arenan terus dalam kesedihan. Sambil meratapi kepergian istrinya, ia menggerak-gerakkan tubuhnya mencoba mengikuti gerakan tarian istrinya sebelum pergi. Ia ingat setiap gerakan istrinya. Setiap hari ia menari menirukan gerakan istrinya. Semakin sering ia menari, semakinlah ia sadar tarian istrinya itu seperti gerakan ikan seluang.
Untuk terus mengenang istrinya, Datuk Arenan pun mengajarkan garakan tarian istrinya kepada gadis-gadis di desanya. Tarian yang diajarkannya inilah yang diberi nama Tari Seluang Mudik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar