Kamis, 12 November 2015

Linangan Air Mata

tersenyumlah. Menangislah. Ketika tangan ini tak lagi bisa menggenggam tanganmu. Aku tahu kau marah, bingung, sedih. Tidak. Kau tak usah marah, bingung, sedih. Kau harusnya bahagia. Relakan aku pergi atas nama cinta. Aku mencintaimu tapi keadaan yang tak mencintai kita. Aku menyayangimu tapi di sekeliling tak menyayangi kita. Kita tidak bisa bersatu seperti apa yang kita impi-impikan selama ini. Kita tidak bisa bersama lagi. Berat. Memang berat. Anggap ini pelajaran hati yang bisa kuatkan diri. Menangislah, saat hati sudah tak bisa berkata sampai air mata yang berlinang mewakili kata. Selamat tinggal masa lalu.

Berat rasanya mengakhiri hubungan yang sudah kita jalani selama dua tahun. Suka dan duka sudah kita lewati. Termasuk duka. Duka yang selama ini kita jalani. Berjuang untuk mempertahankan hubungan ini. Walau di sekeliling kita, di sekitar kita tak juga ada setitik cahaya di hatinya untuk menerima kita bersama. Kuharap jika kau sempat kembali ke sini, aku sangat-sangat ingin memelukmu untuk yang terakhir kalinya. Aku rindu. Rindu dipelukmu. Sudah lima bulan kepergianmu, tapi aku sudah putuskan untuk menyudahi hubungan ini. Percuma. Sungguh percuma. Apalagi keberadaanmu tak lagi dekat.

Oh ya. Aku masih menyimpan semua barang tentangmu, tentang kenangan kita yang selama ini menemani hari-hariku. Aku masih memakai jam tangan PUMA pemberianmu. Saat aku melihat jam itu, aku langsung teringat tentangmu. Kalau kamu? Apakah kau masih menyimpan lukisan itu? Lukisan yang waktu itu aku lukis di anjungan pantai Losari. Kuharap kau masih menyimpannya. Kau berkata saat itu bahwa lukisan yang kulukis tentang senja yang sangat indah di pantai itu, saat kau duduk dengan baju pink kesukaanmu dengan rok selutut bermotif bunga warna-warni itu adalah lukisan yang paling indah sedunia. Kau ingat saat itu? Tentu saja kau mengingatnya, karena waktu itu aku melukismu saat senja muncul di langit pantai Losari.

Apakah kau menangis? Maafkan aku. Aku sendiri menangis menulis pesan ini. Aku cengeng yah? Saat senja menyapa, aku menangis. Tentang kenangan kita saat senja. Aku tak tahu sudah berapa kali kita melihat senja bersama. Senja yang waktunya sekilat pesawat saat lepas landas. Mungkin senja itu singkat karena senja itu berharga dan indah sekali. Maka dari itu untuk yang berharga kita harus mengejarnya. Dan kau masih ingat tentang senja yang PHP?. Waktu itu kita menunggu senja tapi tak kunjung datang. Kita berdua menunggu sampai kehujanan, sampai malam tiba. Senja pemberi harapan palsu ketika itu. Gila kan? Sudah tahu mendung, tapi kau ingin sekali ke pantai melihat senja. Tapi aku mengerti karena kau sangat mencintai senja.

Tentang senja terakhir kita di pantai Akarena sebelum kau memutuskan untuk kuliah di Bandung. Saat itu senja terakhir kita yang penuh dengan tangis. Tentang hubungan kita yang tak direstui. Ketika itu aku melepasmu dengan pelukan. Maaf, aku menangis lagi. Cinta ini sulit kulepaskan. Tapi inilah yang sebaiknya. Baik-baik di sana. Semoga kau bahagia. Mungkin ini pesan terakhirku. Hey. Jangan menangis…

Salam rindu putri cantik

Suara pedagang asongan yang menyodorkan Tissue ke Kila menyadarkan lamunannya saat setelah membaca E-mail dari Kesa. Namun Kila menolak Tissue tersebut. Linangan air matanya sudah tak terhitung saat membaca E-mail dari Kesa. Seorang lelaki yang sangat ia cinta dan banggakan telah mengiris-iris hatinya yang sedang mekar-mekarnya ingin cepat kembali dan bertemu Kesa di Makassar. Hati yang sudah tertutup oleh laki-laki lain. Hati yang sudah terisi oleh mutiara cerah kini hancur hilang sendiri karenanya. Semua hilang, hilang ditiup angin yang mewakili pesannya. Linangan air mata terus melewati pipinya yang cerah lembab. Linangan yang mewakili kata, mulut yang sudah sedari tadi gumam, kini segumam-gumamnya.

Di halte depan kampusnya dia masih saja meratapinya. Masih saja berlinang air mata. Masih saja diam dan tak berkata-kata. Hancur. Hancur kini hatinya. Absurd, tidak percaya Kesa mengakhiri hubungannya yang sudah lama dia pertahankan dengan susah payah, kini berhembus melebur dengan cepat. Kini dia berdiri, berjalan, masih dengan linangan air matanya. Berjalan tanpa terbeliak sama sekali dengan suara di sekitar yang begitu nyaring. Berjalan sampai tiba saatnya dia tertabrak oleh mobil beroda enam. Kini dia hanya bisa menunggu penjelasan Kesa di dunia lain. Berharap bertemu dan bisa memeluknya lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar